Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pesantren, Dulu, Kini dan Mendatang

 


Fase awal embrio lahirnya pesantren dimulai zaman Walisongo, sekitar abad 15-16. Sampai hari ini, pesantren masih menunjukkan eksistensinya sebagai bagian integral dari kekuatan bangsa.

Selain untuk proses pendidikan, pesantren dalam sejarahnya juga berperan untuk menggalang kekuatan dalam rangka merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah. Paling tidak sejarah “Resolusi Jihad” pada Oktober 1945 menjadi bukti kontribusi nyata kaum santri dalam merebut kemerdekaan.

Kita juga diingatkan sejarah bagaimana dahulu Laskar Hizbullah di bawah pimpinan KH Zainul Arifin serta Laskar Sabilillah di bawah barisan KH Masjkur  yang hari ini telah bertransformasi sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI). Maka wajar apabila banyak tokoh dari kalangan santri yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Bukti-bukti sejarah tersebut kemudian menjadi dasar Pemerintah Indonesia pada tahun 2015 menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri.

Eksistensi pesantren sudah bertahan hampir 5 abad. Tidak heran apabila produk pesantren selama ini banyak yang telah berkecimpung di dalam teras kepemimpinan bangsa. Keunggulan ini karena didukung oleh karakter santri yang memiliki kecakapan, kearifan, dan kompetensi ilmu, terutama dalam bidang keagamaan. 

Perkembangan Pesantren

Sebelum lebih jauh bicara perkembangan pesantren, terlebih dahulu perlu diketahui soal Arkanul Ma'had, yakni rukun pesantren. Istilah yang mulai familiar ini merujuk pada pemahaman rukun-syarat yang harus dipenuhi agar suatu lembaga agar bisa disebut pesantren, yang meliputi adanya kiai, santri mukim, masjid, kajian kitab, dan asrama.

Secara statistik, Kementerian Agama mencatat hingga saat ini jumlah pesantren di seluruh Indonesia sudah mencapai sekitar 36.600. Sedangkan jumlah santri aktif sebanyak 3,4 juta dan jumlah pengajar (kiai/ustad) sebanyak 370 ribu.

Sejak dahulu pesantren tidak hanya berfungsi dalam proses pendidikan, melainkan juga dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Itulah mengapa Kementerian Agama memberikan apresiasi tiga fungsi utama tersebut melalui berbagai kebijakan dengan mengusung tagline "Menjaga Tradisi, Mengawal Inovasi". 

Dukungan Kementerian Agama ini selaras dengan kaidah al-muhaafazhatu 'ala al-qadiim ash-shaalih, wa al-akhdzu bi al-jadiid al-ashlah. Pada satu sisi, kita ingin menjaga tradisi, identitas kultural, nilai-nilai yang baik di pesantren, di sisi lain pesantren juga sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan, sains, teknologi, dan nilai-nilai modernitas.

Dengan pemahaman tersebut, tidak heran apabila saat ini muncul beberapa pesantren yang mempunyai ciri khas baru, seperti pesantren Al-Ittifaq di Bandung yang fokus di bidang agrobisnis.

Ciri Utama pesantren

Pesantren memiliki nafas keagamaan, kehadiran kiai, eksistensi masjid, referensi keilmuan dengan garis (sanad) yang jelas, dan fasilitas tempat mondok. Semuanya dibingkai dengan cara-cara keikhlasan, kesantunan, dan penciptaan ruang-ruang akhlak yang luar biasa.

Oleh karena peran dan kekhasan pesantren tersebut, maka negara ikut hadir dengan menetapkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. UU ini bertujuan agar negara memberikan rekognisi berupa pengakuan kesetaraan kepada lulusan pesantren, lalu diafirmasi dengan kebijakan serta ruang-ruang kelonggaran, kemudian difasilitasi dengan tetap mempertahankan keunikan dan kemandiriannya.

Perlu ditegaskan bahwa UU Pesantren bukan berniat mengintervensi pesanten, justru turunan kebijakannya memiliki semangat untuk melindungi kekhasan dan kemandirian pesantren. Termasuk juga menghilangkan hambatan-hambatan cita-cita mulia pesantren.

Di antara kekhasan pesantren yaitu metode pembelajaran "sorogan" di mana seorang santri face to face belajar secara langsung di hadapan gurunya. Lalu ada juga metode wetonan bandongan (halaqah/kuliah), kemudian bahsul masail yang bentuknya berisi diskusi membahas masalah di masyarakat berdasarkan metodologi dalam kitab kuning. Ada pula metode yang khas seperti hafalan, demonstrasi, mudzakarah, ijazah (pertukaran ilmu dengan ikrar khusus), dan lain sebagainya.

Saat ini, level pesantren berkembang setingkat perguruan tinggi dalam bentuk institusi yang bernama Ma'had Aly. Awalnya santri lulusan Ma'had Aly dipandang memiliki kualitas ilmu keagamaan yang mendalam, namun belum ada pengakuan dari negara. Kini, negara sudah mengakui bahwa lulusan Ma'had Aly secara aspek legal formalnya, sehingga ijazahnya setara dengan S1 pada umumnya.

Keunikan dari Pola Pendidikan Pesantren 

Ada beragam motif orang tua memilih pesantren sebagai tempat pendidikan anak. Misalnya, ada orang tua yang sengaja memondokkan anaknya ke pesantren yang sederhana tanpa memikirkan kualitas gedung dan fasilitasnya, melainkan ingin menitipkan anaknya kepada kiai dengan kekuatan sanad keilmuan yang kuat dan mendalam. Kadang-kadang sebagian orang tua memondokkan anaknya agar belajar hidup sederhana, memahami arti kehidupan, rela berbagi dan bekerjasama dengan orang lain.

Hal yang paling inti dari pesantren adalah guru atau kiai. Makanya, sebelum memondokkan anak, orang tua harus mengetahui dan menelusuri jejak sanad keilmuan pimpinan pesantren tersebut. Apalagi saat ini muncul fenomena orang yang mengaku sebagai kiai sehingga dengan mudah mendirikan pesantren.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Sehingga kalau berbicara soal mendidik anak itu memang benar-benar harus diperhatikan lembaganya. Maka, pesantren adalah tempat ideal yang paling aman dan nyaman. Alasan utama adalah orang tua mendapatkan jaminan lebih baik dari segi pemahaman agama yang didukung dengan bekal ilmu pengetahuan, sains dan teknologi yang kini sudah diajarkan di berbagai pesantren.

Tulisan ini merupakan intisari materi yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Muhammad Ali Ramadhani, S.TP., M.T (Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama) dalam acara dialog program "Pesantren di Radio" edisi spesial Ramadan yang disiarkan secara live oleh Radio Elshinta pada Ahad, 3 April 2022.

Sumber : Kementrian Agama RI

Posting Komentar untuk "Pesantren, Dulu, Kini dan Mendatang"